Kamis, 25 Februari 2010

Sang Pejuang Sejati


Sang Pejuang Sejati

Masing-masing kita sebaiknya mengevaluasi diri, apakah kita memang sudah
benar-benar menjadi pejuang di jalan-Nya atau jangan-jangan, baru sebatas
khayalan dan angan-angan kosong belaka. Inginkan syurga, tetapi tidak siap
menggadaikan diri, harta dan jiwa. "Apakah kamu mengira bahwa kamu akan
masuk surga, padahal belum nyata bagi Allah orang-orang yang berjihad di
antaramu, dan belum nyata orang-orang yang sabar." (QS. 3:142). Ya, kita
mengira akan masuk surga dengan pegorbanan yang sedikit, seakan ingin
menyamakan diri dengan hukum ekonomi kapitalis, "Mendapatkan output yang
sebesar-besarnya, semaksimal mungkin, dengan input yang seminimal mungkin."

Aduhai., sesungguhnya hari akhir itu adalah perkara yang besar. Dan surga
yang luasnya seluas langit dan bumi itu, sangat mahal harganya. Rasulullah
SAW bersabda, "Generasi awal sukses karena zuhud dan teguhnya keyakinan,
sedang ummat terakhir hancur karena kikir dan banyak berangan muluk kepada
Allah."

Saat nasyid-nasyid perjuangan dilantunkan, gemuruh di dalam dada menjadi
berkobar-kobar untuk berjuang. Tetapi sayang, ternyata hanya tersimpan di
dalam dada dan semangat itu ikut surut seiring dengan berakhirnya lantunan
nasyid. Tidak keluar dalam amaliyah yang nyata. Demi Allah., keimanan
bukanlah dilihat dari yang paling keras teriakan takbirnya, bukan pula dari
yang paling deras air matanya kala muhasabah, dan bukan pula dari yang
paling ekspresif menunjukkan kemarahan kala melihat Israel menyerang
Palestina. Bukan pula dari yang paling banyak simbol-simbol keagamaannya.
Karena itu semua hanya sesaat. Sesungguhnya keistiqomahan dalam berjuang,
itulah indikasi keimanan sang pejuang yang sebenarnya. Pejuang yang sabar
menapaki hari-hari dengan mengibarkan panji Illahi Rabbi. Yang selalu
bermujahadah mengamalkan Al Qur�an. Teguh pendirian. Tak kenal henti. Hingga
terminal akhir, surga.

Pengorbanan

Apakah dengan memakai sedikit waktu untuk berda�wah, sudah menganggap diri
telah melakukan totalitas perjuangan? Padahal para nabi tidaklah menjadikan
da�wah ini hanya sekedarnya saja, tetapi sebagaimana dicantumkan dalam Surat
Nuh ayat 5, "....Wahai Tuhanku, sesungguhnya aku telah menyeru kaumku siang
dan malam." Pun dalam surat Al Muzzamil, "Hai orang yang berkemul, bangunlah
lalu berilah peringatan, dan Rabbmu agungkanlah." Sejak ayat itu turun, sang
nabi akhir zaman selalu siaga dalam kehidupan. Bahkan, hingga menjelang
ajalnya, Rasulullah tengah menyiapkan peperangan untuk menegakkan Al Haq.

Sang pejuang, tetapi makanannya adalah sebaik-baik makanan, dan pakaiannya
adalah sebaik-baik pakaian. Dan dengan tanpa rasa berdosa, asyik menonton
sinetron-sinetron cinta dan acara gosip, mendengar lagu-lagu cinta,
berghibah, perut kenyang, banyak tidur, dan mengabaikan waktu, lalu berharap
mendapatkan syurga? Sangatlah jauh. bagaikan punduk merindukan rembulan.
Alangkah berbedanya dengan yang dicontohkan Rasulullah saw, Abu Bakar, Umar,
Mush�ab bin Umair dan para sahabat yang lainnya. Yang setelah mendapatkan
hidayah, mereka justru menjauhi kemewahan hidup. Mereka mampu secara
ekonomi, tetapi mereka tidak rela menikmati dunia yang melalaikan.

Seorang pejuang harus memahami jalan mendaki yang akan dilaluinya. Sang Nabi
tak pernah tertawa keras apatah lagi terbahak-bahak. Dan hal itu dikarenakan
keimanan yang tinggi akan adanya hari akhir, akan adanya surga dan neraka.
Ada amanah da�wah yang besar di pundaknya, lantas bagaimana mungkin seorang
pejuang akan banyak bercanda? Imam Syahid Hasan Al Banna memasukkan
"keseriusan" atau tidak banyak bergurau sebagai bagian dari 10 wasiatnya.
Dan dikisahkan pula bahwa Sholahuddin Al Ayyubi tak pernah tertawa karena
Palestina belum terbebaskan.

Keringnya suasana ruhiyah di lingkungan kita, bisa jadi karena di antara
kita -saat di luar halaqah- jarang saling bertaushiyah tentang hari akhir.
Bahkan sungguh aneh, dapat tertawa dan tidak menyimak ketika Al Qur�an
dibacakan di dalam pembukaan ta�lim. Atau saat kaset murottal diputar,
mengobrol tak mengindahkan. Yang mengindikasikan bahwa Al Qur�an itu baru
sampai di tenggorokan saja. "Akan tiba suatu masa dalam ummat ketika orang
membaca Al Qur�an, namun hanya sebatas tenggorokannya saja (tidak masuk ke
dalam hatinya)." (HR. Muslim). Dimanakah air mata keimanan? Ya Rabbi.,
ampunilah kelemahan kami dalam menggusung panji-Mu.

Kederisasi generasi sebaiknya tidak melulu tentang pergerakan dan
mengabaikan aspek keimanan. Keimanan harus senantiasa dihembuskan dimana

kutipan http/: hurul.cybermq.com
saja karena ia adalah motor penggerak yang hakiki. Iman adalah akar.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar