Kamis, 16 Juli 2009

http://www.formulabisnis.com/?id=Chinta Manik

info bisnis paling ok.
klik disini http://www.formulabisnis.com/?id=Chinta Manik

Asuhan Keperawatan Anak Hisprung

BAB I

PENDAHULUAN

1. Latar belakang

Penyakit hisprung merupakan suatu kelainan bawaan yang menyebabkan gangguan pergerakan usus yang dimulai dari spingter ani internal ke arah proksimal dengan panjang yang bervariasi dan termasuk anus sampai rektum. Penyakit hisprung adalah penyebab obstruksi usus bagian bawah yang dapat muncul pada semua usia akan tetapi yang paling sering pada neonatus.

Penyakit hisprung juga dikatakan sebagai suatu kelainan kongenital dimana tidak terdapatnya sel ganglion parasimpatis dari pleksus auerbach di kolon, keadaan abnormal tersebutlah yang dapat menimbulkan tidak adanya peristaltik dan evakuasi usus secara spontan, spingter rektum tidak dapat berelaksasi, tidak mampu mencegah keluarnya feses secara spontan, kemudian dapat menyebabkan isi usus terdorong ke bagian segmen yang tidak adalion dan akhirnya feses dapat terkumpul pada bagian tersebut sehingga dapat menyebabkan dilatasi usus proksimal.

Pasien dengan penyakit hisprung pertama kali dilaporkan oleh Frederick Ruysch pada tahun 1691, tetapi yang baru mempublikasikan adalah Harald Hirschsprung yang mendeskripsikan megakolon kongenital pada tahun 1863. Namun patofisiologi terjadinya penyakit ini tidak diketahui secara jelas. Hingga tahun 1938, dimana Robertson dan Kernohan menyatakan bahwa megakolon yang dijumpai pada kelainan ini disebabkan oleh gangguan peristaltik dibagian distal usus defisiensi ganglion.

Penyakit hisprung terjadi pada 1/5000 kelahiran hidup. Insidensi hisprung di Indonesia tidak diketahui secara pasti, tetapi berkisar 1 diantara 5000 kelahiran hidup. Dengan jumlah penduduk Indonesia 200 juta dan tingkay kelahiran 35 permil, maka diprediksikan setiap tahun akan lahir 1400 bayi dengan penyakit hisprung.

Insidens keseluruhan dari penyakit hisprung 1: 5000 kelahiran hidup, laki-laki lebih banyak diserang dibandingkan perempuan ( 4: 1 ). Biasanya, penyakit hisprung terjadi pada bayi aterm dan jarang pada bayi prematur. Penyakit ini mungkin disertai dengan cacat bawaan dan termasuk sindrom down, sindrom waardenburg serta kelainan kardiovaskuler.

Selain pada anak, penyakit ini ditemukan tanda dan gejala yaitu adanya kegagalan mengeluarkan mekonium dalam waktu 24-48 jam setelah lahir, muntah berwarna hijau dan konstipasi faktor penyebab penyakit hisprung diduga dapat terjadi karena faktor genetik dan faktor lingkungan.

Oleh karena itu, penyakit hisprung sudah dapat dideteksi melalui pemeriksaan yang dilakukan seperti pemeriksaan radiologi, barium, enema, rectal biopsi, rectum, manometri anorektal dan melalui penatalaksanaan dan teraupetik yaitu dengan pembedahan dan colostomi.

2. Tujuan

Makalah ini bertujuan untuk memberikan informasi dan menambah pengetahuan kepada para pembaca khususnya kepada mahasiswa ilmu keperawatan mengenai penyakit hisprung. Makalah ini juga dibuat untuk memenuhi syarat dalam proses pembelajaran pada mata kuliah keperawatan anak.

BAB II

PEMBAHASAN

1.Defenisi

Penyakit hisprung disebut juga congenital aganglionosis atau megacolon ( aganglionic megacolon ) yaitu tidak adanya sel ganglion dalam rectum dan sebagian tidak ada dalam colon ( Suriadi, 2001 ). Penyakit hisprung merupakan suatu kelainan bawaan yang menyebabkan gangguan pergerakan usus dimana hal ini terjadi karena kelainan inervasi usu, mulai pada spingter ani interna dan meluas ke proksimal, melibatkan panjang usus yang bervariasi, Selain itu, penyakit hisprung adalah penyebab obstruksi usus bagian bawah yang paling sering pada neonatus.

2.Etiologi

Penyakit hisprung tidak memiliki plexus myenteric sehingga bagian usus yang bersangkutan tidak dapat mengembang. Biasanya terjadi pada bayi aterm dan jarang pada bayi prematur. Dimana insiden keseluruhan 1 : 5000 kelahiran hidup. Laki-laki lebih banyak dibandingkan perempuan ( 4: 1 ).

Penyakit ini sering terjadi pada anak dengan down syndrom. kelainan kardiovaskuler dan kegagalan sel neural pada masa embrio dalam dinding usus, gagal eksistensi kraniokaudal pada myenterik dan submukosa dinding plexus.

3.Manifestasi klinis

· Kegagalan mengeluarkan mekoniim dalam waktu 24 jam setelah lahir.

· Konstipasi kronik mulai bulan pertama kelahiran dengan terlihat tinja seperti pita.

· Obstruksi usus dalam periode neonatal.

· Nyeri abdomen dan distensi.

· Gangguan pertumbuhan.

4.Komplikasi

Ø Obstruksi usus

Ø Ketidakseimbangan cairan dan elektolit

Ø Konstipasi

5.Gambaran klinis

Gambaran klinis penyakit hisprung dapat dibedakan bardasarkan usia gejala klinis:

A. Periode Neonatal

gejala klinis yang sering dijumpai, yaitu pengeluaran mekonium yang terlambat, muntah hijau, dan distensi abdomen. Pengeluaran mekonium yang terlambat ( lebih dari 24 jam pertama ) merupakan tanda klinis yang paling khas. Muntah hijau dan distensi abdomen biasanya dapat berkurang bila mekonium dapat dikeluarkan segera. Ancaman komplikasi yang serius bagi penderita hisprung yaitu enterokolitis yang dapat menyerang pada usia kapan saja, namun yang paling tinggi saat usia 2-4 minggu.

B. Anak

gejala klinis yang paling menonjol adalah konstipasi kronis dan gizi buruk. Dapat pula terlihat gerakan peristaltik usus di dinding abdomen. Jika dilakukan pemeriksaan colok dubur, maka feses biasanya keluar menyemprot, konsistensi semiliquid dan berbau tidak sedap. Penderita biasanya buang air besar tidak teratur, sekali dalam beberapa hari dan biasanya sulit untuk defekasi.

6.Penatalaksanaan

Pemeriksaan diagnostik

v Pemeriksaan rektum

v Pemeriksaan rektal biopsi, fungsinya untuk mendeteksi ada tidaknya sel ganglion.

v Pemeriksaan manometri anorektal, fungsinya untuk mencatat respon refluks spingter internal dan eksternal.

v Pemeriksaan radiologis : dengan barium enema.

Penatalaksanaan teraupetik

· pengguaan pelembek tinja dan irigasi rectal

· dengan pembedahan, colostromi

7. Komplikasi

Secara garis besarnya, komplikasi pasca tindakn bedah penyakit hisprung dapat digolongkan atas :

1) Kebocoran anastomose

Kebocoran anastomose pasca operasi dapat disebabkan oleh ketegangan yang berlebihan pada garis anastomose, vaskularisasi yang inadekuat pada kedua tepi sayatan ujung usus, infeksi dan abses sekitar anastomose serta trauma colok dubur businasi pasca operasi yang dikerjakan terlalu dini dan tidak hati-hati. Manifestasi klinis yang terljadi akibat kebocoran anastomose ini beragam, mulai dari abses rongga pelvic, abses intra abdomen, peritonisis, sepsis dan kematian.

2) Stenosis

Stenosis yang terjadi pasca operasi tarik terobos dapat disebabkan oleh gangguan penyembuhan luka daerah anastomose, serta prosedur bedah yang dipergunakan. Stenosis sirkuler biasanya disebabkan komplikasi prosedur Swenson atau Rehbein, stenosis posterior berbentuk oval akibat prosedur Duhamel sedangkan bila stenosis memanjang biasanya akibat prosedur Soave. Manifestasi dapat berupa kecipirit, distensi abdomen, enterokolitis hingga vistula perianal.

3) Enterokolitis

Merupakn komplikasi yang paling berbahaya dan dapat mengakibatkan kematian. Tindakan yang dapat dilakukan dengan penderita dengan tanda-tanda enterokolitis adalah segera melakukan resusitasi cairan dan elektrolit, pemasangan pipa rectal untuk decompresi, melakukan wash out dengan cairan fisiologis 2-3 kali perhari serta pemberian antibiotic yang tepat.

4) gangguan fungsi spingter

BAB III

ASUHAN KEPERAWATAN ANAK DENGAN MASALAH PENYAKIT HISPRUNG

1. Pengkajian keperawatan

Penyakit hisprung diduga dapat terjadi karena faktor genetik dan lingkungan. Adanya kegagalan mengeluarkan mekonium dalam waktu 24-28 jam setelah lahir, muntah berwarna hijau, dan konstipasi. Bila diperkusi adanya kembung, apabila dilakukan colok anus feses akan menyemprot. Pada pemeriksaan radiologis didapatkan adanya segmen aganglionis diantaranya apabila segmen aganglionis mulai dari anus sampai sigmoid, termasuk tipe hisprung segmen pendek. Dan apabila aganglionis melebihi sigmoid sampai seluruh kolon, termasuk tipe hisprung segmen panjang. Pemeriksaan biopsy rectal digunakan untuk mendeteksi ada tidaknya sel ganglionik. Pemeriksaan manometri anorektal digunakan untuk mencatat respon refluks spingter internal dan eksternal.

2. Diagnosa Keperawatan

  1. Pra Pembedahan

- Konstipasi berhubungan dengan obstruksi karena aganglion pada usus.

- Resiko kurangnya volume cairan b/d persiapan pembedahan, intak yang kurang, mual dan muntah.

- Gangguan kebutuhan nutrisi

- Resiko cedera

  1. Pasca operasi

- Gangguan integritas kulit b/d kolostomi dan perbaikan pembedahan

- Resiko infeksi b/d prosedur pembedahan dan adanya insisi

- Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b/d pembedahan gastro intestinal

- Nyeri b/d insisi pembedahan

- Kurangnya pengetahuan b/d kebutuhan irigasi, pembedahan dan perawatan kolostomi.

- Resiko komplikasi pasca pembedahan.

3. Kriteria hasil

  1. Pengeluaran tinja lembek tanpa retensi
  2. Anak tidak menunjukkan ketidakseimbangan cairan dan elektrolit yang ditandai dengan membran mukosa lembab, gravitasi urin atau berat jenis urun normal, sodium, potasium dan bikarbonat dalam batas normal

4. Intervensi

Prapembedahan

1. Konstipasi berhubungan dengan obstruksi karena aganglion pada usus.

Konstipasi dapat disebabkan oleh obstruksi, tidak adanya ganglion pada usus. Rencana tindakan keperawatan yang dapat dilakukan adalah mencegah atau mengatasi konstipasi dengan mempertahankan status hidrasi, dengan harapan feses yang keluar menjadi lembek tanpa adanya retensi.

Tindakan

v Monitor terhadap fungsi usus dan karakteristik feses.

v Berikan spoling dengan air garam fisiologis bila tidak ada kontra indikasi

v Kolaborasi dengan dokter tentang rencana pembedahan

Ada dua tahap pembadahan pertama yaitu dengan kolostomi loop atau double barrel dimana diharapkan tonus dan ukuran usus yang dilatasi dan hipertropi dapat kembali normal selama 3-4 bulan. Ada 3 prosedur dalam pembedalan antara lain :

· Procedur duhamel yaitu dengan cara penarikan kolon normal kearah bawah dan menganastomosisnya di belakang usus aganglionik, membuat dinding ganda yaitu selubung aganglionik dan bagian posterior kolon normal yang telah ditarik.

· Prosedur Swenson yaitu membuang bagian aganglionik kemudian menganastomoskan end to end pada kolon yang berganglion dengan saluran anal yang dilatasi dan pemotongan sfingter dilakukan pada bagian posterior.

· Procedu soave yaitu dengan cara membiarkan dinding otot dari segmen tetap utuh kemudian kolon yang bersaraf normal ditarik sampai ke anus tempat dilakukannya anastomosis antara kolon normal dan jaringan otot rectosigmoid yang tersisa.

2. Resiko kurangnya volume cairan b/d persiapan pembedahan, intake yang kurang, mual dan muntah.

Kekurangan volume cairan dapat disebabkan oleh asupan yang tudak memadai sehingga dapat menimbulkan ketidakseimbangan cairan dan elektrolit , perubahan membram mukosa, produksi dan berat jenis urin. Tujuan tindakan yang dilakukan adalah untuk mempertahankan status cairan tubuh.

Tindakan

v Monitor status hidrasi dengan cara mengukur asupan dan keluaran cairan tubuh

v Observasi membram mukosa, turgor kulit, produksi urin, dan status cairan.

v Kolaborasi dalam pemberian cairan sesuai indikasi.

3. Gangguan kebutuhan nutrisi

gangguan perubahan nutrisi disebabkan adanya perubahan status nutrisi seperti penurunan BB, turgor kulit menurun, serta asupan kurang. Maka tujuan tindakan yang dilakukan adalah mempertahankan status nutrisi.

Tindakan

v Monitor perubahan status nutrisi antara lain turgor kulit dan asupan.

v Lakukan pemberian nutrisi parenteral apabila secara oral tidak memungkinkan.

v Timbang BB setiap hari.

v Lakukan pemberian nutrisi dengan tinggi kalori, tinggi protein.

4. Resiko cedera

Masalah ini timbul akibat adanya komplikasi penyakit hirsprung seperti gawat pernafasan dan enterokolitis. Tujuan tindakan yang dilakukan adalah untuk mempertahankan status kesehatan.

Tindakan

v Pantau TTV setiap 2 jam (jika perlu).

v Observasi tanda adanya perforasi usus seperti, muntah, menigkatnya nyeri tekan, distensi abdomen, iritabilitas, gawat pernafasan, tanda adanya enterokolitis.

v Ukur lingkar abdomen setiap 4 jam untuk mengetahui adanya distensi abdomen.

Pascapembedahan

1. Gangguan integritas kulit b/d kolostomi dan perbaikan pembedahan

- kaji insisi pembedahan, bengkak dan drainage.

- Berikan perawatan kulit untuk mencegah kerusakan kulit.

- Oleskan krim jika perlu.

2. Resiko infeksi b/d prosedur pembedahan dan adanya insisi.

Resiko infeksi disebabkan oleh adanya mikroorganisme yang masuk melalui insisi daerah pembedahan.

Tindakan

v Monitor tempat insisi

v Ganti popok yang kering unutk menghindari kontaminasi feses.

v Lakukan perawatan pada kolostomi atau perianal.

v Kolaborasi pemberian antibiotic dalam penatalaksanaan pengobatan terhadap mokroorganisme.

3. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b/d pembedahan gastro intestinal

Tindakan :

- Puasakan anak hingga bisisng usus positif dan ada buang gas.

- Pemberian cairan melalui intravena sesuai program sampai anal toleran dengan intake secara oral.

4. Nyeri b/d insisi pembedahan

Masalah ini dapat disebabkan oleh efek dari insisi yang bias dilihat melalui ekspresi perasaan nyeri, dan perubahan tanda vital.

Tindakan

v Observasi dan monitoring tanda skala nyeri.

v Lakukan teknik pengurangan nyeri seperti teknik pijat punggung dansentuhan.

v Kolaborasi dalam pemberian analgetik apabila dimungkinkan.

5. Kurang pengetahuan

Tindakan :

- Kaji tingkat pengerahuan tentang kondisi yang dialami perawatan di rumah dan pengobatan.

- Ajarkan pada orang tua untuk mengekspresikan perasaan, kecemasan dan perhatian tentang irigasi rectal dan perawatan ostomi.

- Jelaskan perbaikan pembedahan dan proses kesembuhan.

- Ajarkan pada anak dengan membuat gambar-gambar sebagai ilustrasi misalnya bagaimana dilakukan irigasi dan kolostomi.

- Ajarkan perawatan ostomi segera setelah pembedahan dan lakukan supervisi saat orang tua melakukan perawatan ostomi.

6. Resiko komplikasi pascapembedahan

Resiko komplikasi hirsprung misalnya, adanya striktur ani, adanya perforasi, obstruksi usus, dan kebocoran. Tujuan tindakan yang dilakukan adalah mempertahankan status pascapembedahan agar lebih baik dan tidak terjadi komplikasi lebih lanjut.

Tindakan

v Monitor adanya tanda komplikasi seperti obstruksi usus karena perlengketan, kebocoran pada anastomosis, volvulus, sepis, fistula, entero colitis, frekuensi defekasi, konstipasi, perdarahan.

v Monitor peristaltic usus.

v Monitor TTV dan adanya distensi abdomen untuk mempertahankan kepatenan pemasangan nasogastrik.

Tindakan dalam perawatan kolostomi

v Siapkan alat untuk pelaksanaan kolostomi

v Cuci tangan

v Jelaskan pada anak prosedur yang akan dilakukan

v Lepaskan kantong kolostomi dan bersihkan area kolostomi

v Periksa adanya kemerahan dan iritasi

v Pasang kantong kolostomi di daerah stoma

v Tutup atau lakukan vikasasi dengan plester

v Cuci tangan.

BAB IV

HOME CARE HISPRUNG

Perencanaan pulang dan perawatan di rumah

1. Ajarkan pada orang tua untuk memantau adanya tanda dan gejala komplikasi jangka panjang yaitu :

a. Stenosis dan konstriksi

b. Inkontinesia

c. Pengosongan usus yang tidak adekuat

2. Ajarkan tentang perawatan kolostomi pada orang tua dan anak

a. Persiapan kulit

b. Penggunaan alat kolostomi

c. Komplikasi stoma ( perdarahan, gagal devekasi, diare, prolaps, feses seperti pita).

d. Perawatan dan pembersihan alat kolostomi.

e. Irigasi kolostomi

  1. Beri dan kuatkan informasi-informasi tentang pelaksanaan diet.

a. Makanan rendah sisa

b. Masukan cairan tanpa batas

c. Tanda-tanda ketidakseimbangan elektrolit atau dehidrasi

  1. Dorong orang tua dan anak untuk mengekspresikan perasaannya tentang kolostomi.

a. Tampilan

b. Bau

c. Ketidaksesuaian antara anak mereka dan anak ideal

4 Rujuk ke prosedur institusi spesifik untuk informasi yang dapat diberikan pada orang tua tentang perawatan rumah

Belajar dan berpenghasilan

Mau dapat penghasilan dan tambah ilmu kunjungi web ini..

http://www.formulabisnis.com/?id=Chinta%20Manik

Asuhan Keperawatan Diabetes Melitus

DIABETES MELLITUS

A. Pengertian

Diabetes mellitus merupakan sekelompok kelainan heterogen yang

ditandai oleh kenaikan kadar glukosa dalam darah atau hiperglikemia.

(Brunner dan Suddarth, 2002).

Diabetes Melllitus adalah suatu kumpulan gejala yang timbul pada

seseorang yang disebabkan oleh karena adanya peningkatan kadar gula

(glukosa) darah akibat kekurangan insulin baik absolut maupun relatif

(Arjatmo, 2002).

A. Klasifikasi

Klasifikasi diabetes mellitus sebagai berikut :

1. Tipe I : Diabetes mellitus tergantung insulin (IDDM)

2. Tipe II : Diabetes mellitus tidak tergantung insulin (NIDDM)

3. Diabetes mellitus yang berhubungan dengan keadaan atau sindrom lainnya

4. Diabetes mellitus gestasional (GDM)


B. Etiologi

1. Diabetes tipe I:

a. Faktor genetik

Penderita diabetes tidak mewarisi diabetes tipe I itu sendiri; tetapi

mewarisi suatu predisposisi atau kecenderungan genetik ke arah

terjadinya DM tipe I. Kecenderungan genetik ini ditemukan pada

individu yang memiliki tipe antigen HLA.

b. Faktor-faktor imunologi

Adanya respons otoimun yang merupakan respons abnormal dimana

antibodi terarah pada jaringan normal tubuh dengan cara bereaksi

terhadap jaringan tersebut yang dianggapnya seolah-olah sebagai

jaringan asing. Yaitu otoantibodi terhadap sel-sel pulau Langerhans

dan insulin endogen.

c. Faktor lingkungan

Virus atau toksin tertentu dapat memicu proses otoimun yang

menimbulkan destruksi selbeta.

2. Diabetes Tipe II

Mekanisme yang tepat yang menyebabkan resistensi insulin dan gangguan

sekresi insulin pada diabetes tipe II masih belum diketahui. Faktor genetik

memegang peranan dalam proses terjadinya resistensi insulin.

Faktor-faktor resiko :

a. Usia (resistensi insulin cenderung meningkat pada usia di atas 65 th)

b. Obesitas

c. Riwayat keluarga

C. Tanda dan Gejala

Keluhan umum pasien DM seperti poliuria, polidipsia, polifagia pada

DM umumnya tidak ada. Sebaliknya yang sering mengganggu pasien adalah

keluhan akibat komplikasi degeneratif kronik pada pembuluh darah dan saraf.

Pada DM lansia terdapat perubahan patofisiologi akibat proses menua,

sehingga gambaran klinisnya bervariasi dari kasus tanpa gejala sampai kasus

dengan komplikasi yang luas. Keluhan yang sering muncul adalah adanya

gangguan penglihatan karena katarak, rasa kesemutan pada tungkai serta

kelemahan otot (neuropati perifer) dan luka pada tungkai yang sukar sembuh

dengan pengobatan lazim.

Menurut Supartondo, gejala-gejala akibat DM pada usia lanjut yang sering

ditemukan adalah :

1. Katarak

2. Glaukoma

3. Retinopati

4. Gatal seluruh badan

5. Pruritus Vulvae

6. Infeksi bakteri kulit

7. Infeksi jamur di kulit

8. Dermatopati

9. Neuropati perifer

10.Neuropati viseral

11.Amiotropi

12.Ulkus Neurotropik

13. Penyakit ginjal

14. Penyakit pembuluh darah perifer

15. Penyakit koroner

16. Penyakit pembuluh darah otak

17.Hipertensi

Osmotik diuresis akibat glukosuria tertunda disebabkan ambang ginjal

yang tinggi, dan dapat muncul keluhan nokturia disertai gangguan tidur, atau

bahkan inkontinensia urin. Perasaan haus pada pasien DM lansia kurang

dirasakan, akibatnya mereka tidak bereaksi adekuat terhadap dehidrasi. Karena

itu tidak terjadi polidipsia atau baru terjadi pada stadium lanjut.

Penyakit yang mula-mula ringan dan sedang saja yang biasa terdapat pada

pasien DM usia lanjut dapat berubah tiba-tiba, apabila pasien mengalami

infeksi akut. Defisiensi insulin yang tadinya bersifat relatif sekarang menjadi

absolut dan timbul keadaan ketoasidosis dengan gejala khas hiperventilasi dan

dehidrasi, kesadaran menurun dengan hiperglikemia, dehidrasi dan ketonemia.

Gejala yang biasa terjadi pada hipoglikemia seperti rasa lapar, menguap dan

berkeringat banyak umumnya tidak ada pada DM usia lanjut. Biasanya tampak

bermanifestasi sebagai sakit kepala dan kebingungan mendadak.

Pada usia lanjut reaksi vegetatif dapat menghilang. Sedangkan gejala

kebingungan dan koma yang merupakan gangguan metabolisme serebral

tampak lebih jelas.

D. Pemeriksaan Penunjang

1. Glukosa darah sewaktu

2. Kadar glukosa darah puasa

3. Tes toleransi glukosa

Kadar darah sewaktu dan puasa sebagai patokan penyaring diagnosis DM

(mg/dl)

Kriteria diagnostik WHO untuk diabetes mellitus pada sedikitnya 2 kali

pemeriksaan :

1. Glukosa plasma sewaktu >200 mg/dl (11,1 mmol/L)

2. Glukosa plasma puasa >140 mg/dl (7,8 mmol/L)

3. Glukosa plasma dari sampel yang diambil 2 jam kemudian sesudah

mengkonsumsi 75 gr karbohidrat (2 jam post prandial (pp) > 200

mg/dl

E. Penatalaksanaan

Tujuan utama terapi diabetes mellitus adalah mencoba menormalkan

aktivitas insulin dan kadar glukosa darah dalam upaya untuk mengurangi

komplikasi vaskuler serta neuropati. Tujuan terapeutik pada setiap tipe

diabetes adalah mencapai kadar glukosa darah normal.

Ada 5 komponen dalam penatalaksanaan diabetes :

1. Diet

2. Latihan

3. Pemantauan

4. Terapi (jika diperlukan)

5. Pendidikan

C. Pengkajian

  1. Riwayat Kesehatan Keluarga

Adakah keluarga yang menderita penyakit seperti klien ?

  1. Riwayat Kesehatan Pasien dan Pengobatan Sebelumnya

Berapa lama klien menderita DM, bagaimana penanganannya, mendapat

terapi insulin jenis apa, bagaimana cara minum obatnya apakah teratur

atau tidak, apa saja yang dilakukan klien untuk menanggulangi

penyakitnya.

  1. Aktivitas/ Istirahat :

Letih, Lemah, Sulit Bergerak / berjalan, kram otot, tonus otot menurun.

  1. Sirkulasi

Adakah riwayat hipertensi,AMI, klaudikasi, kebas, kesemutan pada

ekstremitas, ulkus pada kaki yang penyembuhannya lama, takikardi,

perubahan tekanan darah

  1. Integritas Ego

Stress, ansietas

  1. Eliminasi

Perubahan pola berkemih ( poliuria, nokturia, anuria ), diare

  1. Makanan / Cairan

Anoreksia, mual muntah, tidak mengikuti diet, penurunan berat badan,

haus, penggunaan diuretik.

  1. Neurosensori

Pusing, sakit kepala, kesemutan, kebas kelemahan pada otot,

parestesia,gangguan penglihatan.

  1. Nyeri / Kenyamanan

Abdomen tegang, nyeri (sedang / berat)

  1. Pernapasan

Batuk dengan/tanpa sputum purulen (tergangung adanya infeksi / tidak)

  1. Keamanan

Kulit kering, gatal, ulkus kulit.

D. Masalah Keperawatan

1. Resiko tinggi gangguan nutrisi : kurang dari kebutuhan

2. Kekurangan volume cairan

3. Gangguan integritas kulit

4. Resiko terjadi injury

E. Intervensi

1. Resiko tinggi gangguan nutrisi : kurang dari kebutuhan berhubungan

dengan penurunan masukan oral, anoreksia, mual, peningkatan

metabolisme protein, lemak.

Tujuan : kebutuhan nutrisi pasien terpenuhi

Kriteria Hasil :

Pasien dapat mencerna jumlah kalori atau nutrien yang tepat

Berat badan stabil atau penambahan ke arah rentang biasanya

Intervensi :

Timbang berat badan setiap hari atau sesuai dengan indikasi.

Tentukan program diet dan pola makan pasien dan bandingkan dengan

makanan yang dapat dihabiskan pasien.

Auskultasi bising usus, catat adanya nyeri abdomen / perut kembung,

mual, muntahan makanan yang belum sempat dicerna, pertahankan

keadaan puasa sesuai dengan indikasi.

Berikan makanan cair yang mengandung zat makanan (nutrien) dan

elektrolit dengan segera jika pasien sudah dapat mentoleransinya

melalui oral.

Libatkan keluarga pasien pada pencernaan makan ini sesuai dengan

indikasi.

Observasi tanda-tanda hipoglikemia seperti perubahan tingkat

kesadaran, kulit lembab/dingin, denyut nadi cepat, lapar, peka

rangsang, cemas, sakit kepala.

Kolaborasi melakukan pemeriksaan gula darah.

Kolaborasi pemberian pengobatan insulin.

Kolaborasi dengan ahli diet.

2. Kekurangan volume cairan berhubungan dengan diuresis osmotik.

Tujuan : kebutuhan cairan atau hidrasi pasien terpenuhi

Kriteria Hasil :

Pasien menunjukkan hidrasi yang adekuat dibuktikan oleh tanda vital

stabil, nadi perifer dapat diraba, turgor kulit dan pengisian kapiler baik,

haluaran urin tepat secara individu dan kadar elektrolit dalam batas

normal.

Intervensi :

Pantau tanda-tanda vital, catat adanya perubahan TD ortostatik

Pantau pola nafas seperti adanya pernafasan kusmaul

Kaji frekuensi dan kualitas pernafasan, penggunaan otot bantu nafas

Kaji nadi perifer, pengisian kapiler, turgor kulit dan membran mukosa

Pantau masukan dan pengeluaran

Pertahankan untuk memberikan cairan paling sedikit 2500 ml/hari

dalam batas yang dapat ditoleransi jantung

Catat hal-hal seperti mual, muntah dan distensi lambung.

Observasi adanya kelelahan yang meningkat, edema, peningkatan BB,

nadi tidak teratur

Kolaborasi : berikan terapi cairan normal salin dengan atau tanpa

dextrosa, pantau pemeriksaan laboratorium (Ht, BUN, Na, K)

3. Gangguan integritas kulit berhubungan dengan perubahan status metabolik

(neuropati perifer).

Tujuan : gangguan integritas kulit dapat berkurang atau menunjukkan

penyembuhan.

Kriteria Hasil :

Kondisi luka menunjukkan adanya perbaikan jaringan dan tidak terinfeksi

Intervensi :

Kaji luka, adanya epitelisasi, perubahan warna, edema, dan discharge,

frekuensi ganti balut.

Kaji tanda vital

Kaji adanya nyeri

Lakukan perawatan luka

Kolaborasi pemberian insulin dan medikasi.

Kolaborasi pemberian antibiotik sesuai indikasi.

4. Resiko terjadi injury berhubungan dengan penurunan fungsi penglihatan

Tujuan : pasien tidak mengalami injury

Kriteria Hasil : pasien dapat memenuhi kebutuhannya tanpa mengalami

injury

Intervensi :

Hindarkan lantai yang licin.

Gunakan bed yang rendah.

Orientasikan klien dengan ruangan.

Bantu klien dalam melakukan aktivitas sehari-hari

Bantu pasien dalam ambulasi atau perubahan posisi

DAFTAR PUSTAKA

Luecknote, Annette Geisler, Pengkajian Gerontologi alih bahasa Aniek

Maryunani, Jakarta:EGC, 1997.

Doenges, Marilyn E, Rencana Asuhan Keperawatan Pedoman untuk

Perencanaan dan Pendokumentasian Perawatan Pasien edisi 3 alih

bahasa I Made Kariasa, Ni Made Sumarwati, Jakarta : EGC, 1999.

Carpenito, Lynda Juall, Buku Saku Diagnosa Keperawatan edisi 6 alih bahasa

YasminAsih, Jakarta : EGC, 1997.

Smeltzer, Suzanne C, Brenda G bare, Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah

Brunner & Suddarth Edisi 8 Vol 2 alih bahasa H. Y. Kuncara, Andry

Hartono, Monica Ester, Yasmin asih, Jakarta : EGC, 2002.

Ikram, Ainal, Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam : Diabetes Mellitus Pada Usia

Lanjut jilid I Edisi ketiga, Jakarta : FKUI, 1996.

Arjatmo Tjokronegoro. Penatalaksanaan Diabetes Melitus Terpadu.Cet 2. Jakarta : Balai Penerbit FKUI, 2002