Kamis, 25 Februari 2010

AGAR AKAL TIDAK TERGELINCIR


“ Banyak keadaan orang yang meninggalkan apa yang wajib atas mereka dari amar ma’ruf dan nahyu mungkar dan jihad dengan alasan agar mereka terhindar dari kotoran nafsu dan syahwat. Padahal sebenarnya mereka sendirilah yang telah jatuh dalam fitnah yang lebih besar karena anggapan mereka telah terhindar darinya. Karena yang wajib mereka lakukan adalah melakukan kewajiban itu sendiri sekaligus menghindari hal-hal yang dilarang dalam melakukannya. Kedua-duanya wajib dilakukan ”
(Ibnu Taimiyah)


Ikhwati fillah...
Bagaimana keadaan kita hari ini wahai saudaraku ? tundukkan hati. Ucapkanlah puji dan syukur kita kepada Allah karena hingga saat ini kaki kita masih tetap kuat dan kokoh berpijak di sini. Sebuah perjalanan yang pasti mengandung risiko. Sebuah langkah pasti yang memiliki konsekuensi. Tapi hanya dijalan inilah, di jalan taat kepada Allah, di jalan pengabdian kepada Allah, di jalan pengorbanan untuk Allah semua risiko bisa kita rasakan sebagai sebuah kenikmatan. Maka ungkapkanlah sekali lagi rasa syukur kita itu ” Alhamdulillahi ala kulli haal...” Segala puji hanya untuk Allah atas segala keadaan.

Ikhwati kiraam...
Allah SWT telah mengkaruniai kita akal dan kemampuan berfikir. Akal dan fikiran kita adalah bekal yang teramat mahal dalam hidup ini. Manusia mulia dengan akal dan hina karena akal. Akal kita bukan wahyu, tapi ia menjadi perantara kita mengenal wahyu. Kemampuan akallah yang menjadi faktor utama dalam menilai apakah seseorang sudah wajib melaksanakan perintah Allah SWT atau belum. Fungsi akallah yang menjadi alasan mendasar untuk menimbang apakah seseorang sudah saatnya dikenakan hukuman bila ia menerjang dosa. Akal juga menjadi sarana penting untuk mengetahui jalan yang selamat dan terhindar dari bahaya. Tanpa akal kita tidak mengenal rambu-rambu hidup ini. Dan karenanya, kebodohan yang identik dengan tidak berfungsinya akal adalah musibah terbesar bagi kita.

Ada banyak firman-firman Allah SWT yang mengajak kita untuk menggunakan akal. Kalimat yang mengajak kita untuk menggunakan akal baik dalam bentuk kalimat ” la’allakum ta’qiluun” yang artinya agar kalian berikir, atau ”afalaa ta’qiluun” yang artinya apakah kalian tidak berakal atau berfikir, tersebar dalam puluhan ayat al Qur’an.

Ikhwati fillah rahimakumullah..
Akal juga bisa membuat kita terseret bahaya. Seperti yang dikhawatikan oleh Umar bin Abdul Aziz dalam katanya kepada Roja’ bin Haywa, ”Wahai Roja’ aku mempunyai akal tapi aku takut Allah mengazabku karena akalku....” (sirah wa manqib umar, Ibnu Jauzi :252). Umar bin Abdul Aziz yang ahli ibadah itu takut sekali dengan kemampuan akalnya yang besar. Khawatir bila kemampuan berfikirnya mendorongnya hingga mengeluarkan alasan merubah larangan menjadi sesuatu yang boleh dan wajar dilakukan. Takut bila potensi berfikirnya berfungsi untuk menghindarkan dirinya dari kewajiban. Was-was bila ketajaman akalnya perlahan-lahan mengajaknya lebih bersandar pada kemampuan diri sendiri ketimbang menyandarkan diri kepada kuasa Allah SWT. Lalu tunduk pada pandangan akalnya sendiri sehingga kehilangan sandaran kuatnya Allah SWT dan meninggalkan benteng kuat yang akan melindunginya, Allah SWT.

Diantara peyimpangan fungsi akal adalah pengesahan pekerjaan yang berdosa tapi menjadi wajar dan lumrah bahkan keharusan. Ini adalah bagian dari fitnah akal yang sangat berbahaya. Praktiknya mungkin jarang dilakukan didepan orang banyak tapi bisa tercetus secara bertubi-tubi dalam hati kita untuk memuaskan dan memenangkan diri sendiri dengan perbuatan dosa yang sudah dilakukan.

Ikhwati fillah rahimakumullah...
Lihatlah bagaimana sikap orang-orang munafiq yang minta izin kepada Rasullah SAW untuk tidak ikut dalam barisan mujahidin karena takut terjerumus fitnah. Mereka berargumen dengan tidak pergi bersama Rasulullah dalam jihad mereka bisa selamat dari fitnah yang membahayakan. Padahal hakikatnya justru merekalah yang terjerumus dalam fitnah tersebut. Kisahnya disebutkan didalam al-Qur’an : ” Diantara mereka ada yang berkata: "Berilah saya keijinan (tidak pergi berperang) dan janganlah kamu menjadikan saya terjerumus dalam fitnah". Ketahuilah, bahwa mereka telah terjerumus dalam fitnah. Dan sesungguhnya Jahannam itu benar-benar meliputi orang-orang yang kafir ”. (At-Taubah [9]:49)

Ibnu Taimiyah rahimahullah juga menyinggung masalah ini, untuk menghindar dari penyalahgunaan akal dan pikiran, ia mengatakan sebaiknya kita menghimpun antara ilmu syari’ah dan ilmu tazkiyatun nafs. ”Banyak keadaan orang yang meninggalkan apa yang wajib atas mereka dari amar ma’ruf dan nahyul mung dan jihad dengan alasan agar mereka terhindar dari kotoran nafsu dan syahwat padahal sebenarnya mereka sendirilah yang telah jatuh dalam fitnah yang lebih besar karena anggapan mereka telah terhindar darinya. Karena yang wajib mereka lakukan adalah melakukan kewajiban itu sendiri, sekaligus menghindari hal-hal yang dilarang dalam melakukannya. Kedua-duanya wajib dilakukan”. (Fatawa Ibnu Taimiyah, 28/168)

Ikhwati fillah...
Begitulah akal dan pikiran kita bisa juga menjadi pintu kemaksiatan yang menggeser amal ketaatan. Akal bisa menjadi sarana seorang ujub, sombong lalu membuang sikap tawadhu’ dan rendah hati. Akal dan pikiran bisa membuat banyak alasan agar seseorang boleh melakukan kesalahan yang sebenarnya dilarang tapi dengan argumentasi yang sepertinya memuaskan. Tanpa ketaqwaan dan sikap wara’ kemampuan akal bisa memunculkan sikap melupakan dosa atau menyepelekan dosa, membesar-besarkan suatu ketaatan, piawai menyembunyikan keburukan dan aib-aib diri, merasa lebih baik dari orang lain dan akhirnya tuli dari menerima nasihat dan buta dari mendengarkan kebenaran.

Dahulu para salafushalih telah menemukan satu cara yang sangat efektif untuk mengendalikan akal dan pikiran mereka. Mereka melakukan suatu kebiasaan yang bisa mengarahkan fungsi akal untuk selalu dekat dengan kehendak Allah SWT. Cara yang mereka lakukan adalah dengan melakukan tadabbur dan tafakkur atau merenung dan berfikir tentang ciptaan Allah. Dengan cara itulah mereka menguak banyak ilmu dan memetik buah dari akal yang efeknya bisa lebih mendorong mereka melakukan amal-amal ketaatan. Dengan cara itulah mereka tetap merasa kerdil tidak berdaya dihadapan kebesaran dan kekuasaan Allah SWT.

Ikhwatifillah .....
Merenungi ciptaan Allah, berfikir tentang diri sendiri, hanyut dalam keheningan untuk memikirkan berbagai kekuasaan Allah adalah ibadah. Sufyan ats-Tauri pernah melakukan tafakur tentang langit hingga ia merasa sangat takut bersedih dan pingsan. Istri Abu Darda yang sangat terkenal dengan kualitas dan kuantitas amal-amal shalihnya mengatakan, ”Keadaannya yang paling banyak adalah tafakkur”.

Ikhwatifillah ......
Akhirnya berhati-hatilah digelincirkan syaithan dengan meninggalkan amal shalih dengan alasan memelihara tawadhu’ dan ikhlas. Berhati-hatilah meninggalkan sebuah tanggungjawab, jika hal itu yang harus kita lakukan, dengan alasan mengutamakan zuhud. Wallahu ’alamu bishowwab
dikutip dari http/pawewetblogs.blogspot.com/2009

Tidak ada komentar:

Posting Komentar